Jumat, 20 April 2012

SEJARAH KOTA KEPANJEN-MALANG



Riwayat Dermoredjo 

(dari pasukan Diponegore)

Perang Diponegoro, adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin Pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.
  • Pangeran Diponegoro menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dan selama perang, dibantu sebanyak 15 dari 19 pangeran. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Dan sisa-sisa pasukan Diponegoro melarikan diri ke segalah kota yang ada di Jawa. Salah satu kelopok pasukan Diponegoro lari kearah timur lewat arah Kadipaten Balitar dan kearah Gunung Kawi untuk menuju Kadipaten Singosari atau Kadipaten Sengguruh.

Sedangkan posisi Kompeni sudah menguasai ketiga Kadipaten tersebut dalam masa kejayaan Mataram Islam Kompeni mulai tahun 1768 di daerah Kadipaten Singosari merambat kadipaten Sengguruh, setelah dari duatempat berhenti sesaat diteruskan lagi kedaerah Bang Wetan

Akhirnya beberapa saat sambil menunggu waktu yang tepat untuk menuju daerah timur atau Bang Wetan, karena Malang dianggap daerah yang tidak aman.



SEJARAH BUYUT DHERMO REJO
dikaitkan dengan

Cerita Sejarah Panjen
(Ibu kota Kabupaten Malang)

“Cangga Singo Tomporedjo” berasal dari Yogjakarta “Kutho Gedhe” dan datang ke Panjen sebagai Buronan Belanda, karena tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sehingga pasukan Mataram yang anti Kompeni Belanda di Kejar-kejar untuk dibinasahkan.

“Canggah Singo” saat itu sebagai perwira perang, sedangkan temannya Imam Supardjo (Ahmad Yakin) sebagai ahli strategi. Dalam masa pelarian beberapa puluh orang dalam rangka mencari perlindungan yang akhirnya menemukan tempat disalah satu hutan di daerah Kadipaten Balitar dan mendirikan tempat tinggal sederhana yang akhirnya menjadi ramai.(sekarang bernama desa Bumiadji) info penulis dari seorang yang tdk mau disebutkan identitasnya, tinggal di daerah Gribik Malang.

Setelah Belanda kehilangan jejak maka “Cangga Singgo” dengan nama "Sastrodiardjo" mencoba melihat situasi di luar dengan cara keluar dari persembunyian. Daerah yang dituju adalah Kadipaten Sengguruh dengan upaya melakukan perjalanan ke desa kecil Karangkates, Gunung Kawi, desa kecil Sumbermanjing, lalu ke Kadipaten Sengguruh. (sekitar tahun 1840-an).
Ternyata di daerah Sengguruh sudah dimasuki Kompeni maka “Canggah Singo” dan sebagian pasukan menuju arah utara kota Sengguruh sampailah di Panjen. Setelah diam sesaat di Panjen maka dukungan pertolongan dari salah satu tokoh baik  hati. Pada saat itu di Panjen banyak tinggal beberapa pejabat yang masih mendukung dengan perjuangan Pangeran Mataram yaitu Diponegoro 

Setelah Cangga Singo bersembunyi di Panjen yang ditampung oleh “seorang tokoh daerah” (Wareng saya). Dalam perlindungan “mbah buyut Singo membuat posko didekat sungai Metro untuk mengumpulkan kekuatan pasukan Diponegoro yang masih tercecer yang berasal dari persembunyian di daerah Gunung Kawi, daerah selatan = Sumbermanjing dan kadipaten Singosari. 

Dalam masa persembunyian “Cangga Singo” terjalin hubungan asmara dengan puteri “Wareng saya” dan akhirnya dinikahkan. dengan Canggah Putri" nama asli belum diketahui


“Cangga Singo” ini mempunyai prajurit setia yang bernama “Buyut Dermo” berasal dari Demak, yang saat itu usianya masih muda. “Buyut Dermo” ini dipercaya oleh Mataram Diponegoro sebagain “pimpinan pasukan regu perang”. 

Pada masa pelarian pasukan Diponegoro yang berpencar dengan menyebar setiap kelompok bersembunyi dan membuka tempat-tempat tinggal di dalam hutan. Dengan kelompok sekitar 5 sampai 10 orang dan melakukan penyamaran sebagai petani, tukang dan buruh. 
Sedangkan “Buyut Dermo” menyamar sebagai tukang kayu dan tukang ukir, ini bisa dilihat dari peninggalan perabot rumahnya. 

“Buyut Dermo”   pernah dipercaya menjadi tukang untuk membangun kantor pemerintah  di Panjen (dulu kantor Kawedanan yang berfungsi untuk mengurus masalah peribadatan, perawatan masjid-masjid, dan upacara-upacara keagamaan, serta urusan peradilan kerajaan dalam lingkungan peradilan syariat.)
  
Kegiatan dari “Buyut Dharmo” karena sempat menarik perhatian dari “Cangga Singgo” maka akhirnya dinikahkan dengan Roro Larasati”, dan tinggal di sebelah timur sungai Metro, bersebelahan dengan rumah “Cangga Singgo” (daerah pasar besar Kepanjen). 

Tugas sebagai bekas kepercayaan dari Mataram anti Kompeni Belanda maka, pekerjaan “Cangga Singgo Tomporedjo” tetap koordinasi dan mengadakan perhimpunan kekuatan baru anti belanda dengan mengadaan perlawanan-perlawanan kepada Kompeni juga menanamkan perjuangan melawan penjajah, yang tentunya berdampak jarang tinggal dibersama keluarga. Sedangkan untuk menjaga keluarga Panjen dipercayakan kepada “Buyut Dermo” karena kemadirian dan ilmu beliau maka banyak berdatangan orang dari luar yang daerah untuk minta nasehat ilmu, sehingga nama biliau yang dulu “Dermo” dan dapat julukan “Dermoyudho” maka diganti dengan nama “Dermoredjo”, sedangkan “Roro Larasati” diganti dengan “Dermosati”. 


Karena putra dari Buyut Dermo Redjo putrid berjumlah 7 perempuan maka rata-rata dibekali ilmu dagang, pengobatan (jamu) dan keputren, sedangkan mbah Dhermawiyata diberi ilmu pertukangan, ke-tabib-an yang akhirnya bisa menjadi kepercayaan Wedono Panjen yang bernama “mbah Dono Untung” sering di ajak mendampingi acara resmi dengan menjadi kusir. (sebelum kemerdekaan)



Saat itu Mbah Dhermoredjo bertempat tinggal di Jl. Anjasmoro 19 Kepanjen-Malang, mempunyai tanah yang cukup luas di kelurahan Kepanjen dan Sumedang, dari sepengetahuan saya tanah sudah banyak yang dijual oleh ahli waris. Dan sisa dari tanahnya diwakafkan untuk makam masyarakat Kepanjen dan sebagian untuk makam keluarga, yang terletak dijalan Punten Kepanjen.

Cerita cucu Buyut Dermo Redjo ini akan kami gali informasi dalam peran melawan penjajah Belanda di Kepanjen atau Malang selatan.....