
Kawasan Malang oleh Mataram ditempatkan ke dalam “Mancanegara atau Brang Wetan”, dan dipimpin oleh adipati. Walaupun secara de yure kawasan Malang ditempatkan dalam kekuasaan Mataram, namun sebagaimana halnya penguasa-penguasa lokal lain di mancanegara, Adipati Malang juga memerintah secara semi-otonom. Bahkan, sepeninggal Sultan Agung, penguasa di Malang bermaksud untuk turut memisahkan diri dari kekuasaan Mataram. Oleh karenanya, para penguasa Mataram pengganti Sultan Agung berusaha untuk mereintegrasikan Malang kedalam kekuasaan Mataram.
Pada awal pemerintahan Kasultanan Mataram, yang diperintah oleh Panembahan Senapati, penguasa di Malang menolak tunduk kepada Mataram. Dalam kitab “Babad Tanah Jawi Pesisiran” diberitakan bahwa Adipati Malang dan seluruh adipati di Jawa Timur menolak tunduk pada Mataram. Pasukan Mataram yang dikerahkan oleh Senapati tidak berhasil menundukkan Adipati Malang, dan baru berhasil oleh ekspansi militer pada masa pemerintahan Sultan Agung (1614).
Menurut sesepuh-sesepuh Kepanjen, Babad Kota Kepanjen dibawah keperintahan Kadipaten. Daerah Malang masih menjadi satu belum terbagi menjadi Kota Malang dan Kabupaten, didalam kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Pusat Pemerintahannya Kadipaten Malang yang di perkirakan di Pakishardjo (kemungkinan ditimur pasar Desa Pakisaji).
“Daerah ini diketahui oleh penulis adanya peninggalan berupa :
1. Batu sebagai alas soko guru pendopo kadipaten
2. Batu gajah adalah gambaran hewan kendaraan sang bupati (menurut tembang “Pucung”)
3. Batu Hewan ternak yang menggambarkan daerah pertanian
“Daerah ini diketahui oleh penulis adanya peninggalan berupa :
1. Batu sebagai alas soko guru pendopo kadipaten
2. Batu gajah adalah gambaran hewan kendaraan sang bupati (menurut tembang “Pucung”)
3. Batu Hewan ternak yang menggambarkan daerah pertanian